Minggu, 10 Oktober 2010

Akulturasi

Pengertian Akulturasi Kebudayaan

Akuturasi adalah perpaduan antara kebudayaan yang berbeda yang berlangsung dengan damai dan serasi. Contohnya, perpaduan kebudayaan antara Hindu-Budha dengan kebudayaan Indonesia, dimana perpaduan antara dua kebudayaan itu tidak menghilangkan unsur-unsur asli dari kedua kebudayaan tersebut.
Oleh karena itu, kebudayaan Hindu-Budha yang masuk ke Indonesia tidak diterima begitu saja. Hal ini disebabkan:
 

Faktor Intern antara lain:

  • Bertambah dan berkurangnya penduduk (kelahiran, kematian, migrasi)
  • Adanya Penemuan Baru:
  1. Discovery: penemuan ide atau alat baru yang sebelumnya belum pernah ada
  2. Invention : penyempurnaan penemuan baru
  3. Innovation /Inovasi: pembaruan atau penemuan baru yang diterapkan dalam kehidupan masyarakat sehingga menambah, melengkapi atau mengganti yang telah ada. Penemuan baru didorong oleh : kesadaran masyarakat akan kekurangan unsure dalam kehidupannya, kualitas ahli atau anggota masyarakat
  • Konflik yang terjadii dalam masyarakat
  • Pemberontakan atau revolusi

Faktor ekstern antara lain:

  1. perubahan alam
  2. peperangan
  3. pengaruh kebudayaan lain melalui difusi(penyebaran kebudayaan), akulturasi ( pembauran antar budaya yang masih terlihat masing-masing sifat khasnya), asimilasi (pembauran antar budaya yang menghasilkan budaya yang sama sekali baru batas budaya lama tidak tampak lagi)
Jadi menurut Soerjono Soekanto faktor pendorong perubahan sosial adalah:
  1. sikap menghargai hasil karya orang lain
  2. keinginan untuk maju
  3. system pendidikan yang maju
  4. toleransi terhadap perubahan
  5. system pelapisan yang terbuka
  6. penduduk yang heterogen
  7. ketidak puasan masyarakat terhadap bidang kehidupan tertentu
  8. orientasi ke masa depan
  9. sikap mudah menerima hal baru.

  • Masyarakat Indonesia telah memiliki dasar-dasar kebudayaan yang cukup tinggi, sehingga masuknya kebudayaan asing ke Indonesia menambah perbendaharaan kebudayaan Indonesia.
  • Kecakapan istimewa. Bangsa Indonesia memiliki apa yang disebut dengan istilah local genius, yaitu kecakapan suatu bangsa untuk menerima unsur-unsur kebudayaan asing dan mengolah unsur-unsur tersebut sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia.

Hasil Akulturasi Budaya

PROSES akulturasi di Indonesia sudah teriadi semenjak masa pra-Islam, yaitu Buddha dan Hindu. Agama Hindu datang ke Indonesia dibawa oleh bangsa India Setelah itu datanglah agama Islam Agama-agama tersebut kemudian bertemu dan mengadakan kontak secara terus-menerus.
Akhirnya terjadilah akulturasi. Wujud akulturasi tersebut dapat dilihat dari adanya unsur-unsur budaya pada arsitektur Mas)id Merah Panjunan. Unsur budaya Islam selain tampak jelas dari wujud fisik dan fungsi praktis dari masjid mi yaitu sebagai tempat ibadah, juga dapat dilihat lebih terperinci dari adanya unsur khas yang berasal dan pengaruh Islam. Unsur budaya Islam dapat dilihat pada mimbar, mihrab, tempat wudhu, dan beberapa ragam hias kaligrafi yang terlihat di tiang dan blandar
Unsur budaya Jawa tampak pada arsitekturnya, yakni dari jenis bangunannya yang menggunakan arsitektur Jawa yaitu tajug dan limasan. Selain itu juga dapat dilihat dari pola konstruksi dan susunan arsitekturnya.Pengaruh dari China dapat dilihat dan penggunaan beberapa keramik produksi negen itu untuk hiasan tempel. Juga penggunaan bahan sirap seperti pada bangunan khas China.
Unsur budaya Hindu secara eksplisit tidak banyak dapat dilihat secara langsung pada wujud fisik bangunannya. Akan tetapi jika dikaitkan dengan makna-makna filosofis dan simbol-simbol yang ada pada Masjid Merah Panjunan, masih dapat ditemukan adanya kelanjutan-kelanjutan pemakaian makna filosofis Hindu yang kemudian disesuaikan dengan ajaran Islam (dam)







CONTOH DARI PENYELIDIKAN YANG DIDASARKAN ANGGAPAN
MESSIANIK DI INDONESIA
Sepanjang pengetahuan kami contoh-contoh dari penyelidikan mengenai
perubahan dan perpaduan kebudayaan di Indonesia berdasarkan teori-teori dalam
seksi di atas adalah :
a. Penyelidikan dari para sarjana filologi dan arkeologi Indonesia yang mencoba
menerangkan dasar-dasar dari proses penerimaan unsur-unsur kebudayaan
Hindu oleh orang Indonesia yang dalam menerangkan proses-proses tadi
berdasarkan anggapan tentang prinsi-prinsip integrasi kebudayaan.
b. Penyelidikan F.C. Kamma tentang gerakan messianik pada suku-suku bangsa
di Biak dan Numfor di Irian Utara, berdasarkan anggapan bahwa timbulnya
gerakan Messianik di tengah suatu krisis masyarakat bukan penyebab
utamanya akibat dari peristiwa perpaduan kebudayaan antara kebudayaan asli
dan kebudayaan Eropa,
Penyelidikan-penyelidikan dari para sarjana filologi dan ilmu arkeologi
Indonesia.
Pada permulaannya dapat disebut penyelidikan N.J. Krom tentang
pengaruh unsur-unsur kebudayaan Hidnu kepada kebudayaan Indonesia yang
didasarkan pada anggapan bahwa unsur kebudayaan asing dari kebudayaan yang
lebih tinggi itu hanya dapat diterima oleh kebudayaan asli, apabila kebudayaan
asli itu sudah mencapai suatu tingkat yang tinggi juga, sehingga siap untuk
menerima unsur-unsur kebudayaan asing tadi. Menurut N.J. Krom, kebudayaan
Hindu-Jawa adalah penyelarasan atau dengan istilah kata Krom sendiri dari suatu
samenmelting” antara kebudayaan Hindu dengan Kebudayaan Jawa (N.J. Krom,
192. 10). Penyelarasan tadi tak akan terjadi apabila kebudayaan Jawa adalah
suatu kebudayaan yang masih sangat rendah tingkatnya dan belum siap untuk
menerima unsur-unsur kebudayaan Hindu. Inilah sebabnya pula bahwa Krom,
dengan beberapa perkecuaalian, setuju dengan anggapan Brandes tentang
kesepuluh unsur kebudayaan Indonesia yang dikemukakannya di atas. Brandes
beranggapan bahwa kesepuluh unsur kebudayaan itu ialah (1) seni wayang, (2)
seni gamelan, (3) batik, (4) bentuk-bentuk metrik, (5) memandai logam, (6)
sistem mata uang, (7) pengetahuan berlayar, (8) pengetahuan astronomi, (9)
bertani dengan irigasi dan (10) susunan pemerintahan kenegaraan tingkat desa,
semuanya dikenal oleh orang Jawa dan semuanya telah merupakan unsur-unsur
dari kebudayaan Jawa asli, lama sebelum orang Hindu datang mempengaruhi
orang Jawa dengan kebudayaannya. Karena orang Jawa sudah mempunyai
sebagaian besar dari unsur-unsur serupa, menurut Krom, kebudayaan orang Jawa
tidak terlampau amat rendah tingkatnya (N.J. Krom, 1923, 10) periksalah juga
Krom, 1923-a. I, 44-45). Kemudian anggapan tentang keselarasan kebudayaan
itu, apabila Krom menyatakan bahwa kebudayaan-kebudayaan berbagai suku
bangsa lain di luar Jawa itu tidak atau sedikit sekali terpengaruh oleh kebudayaan
Hindu, karena kebudayaan-kebudayaan itu belum cukup tinggi tingkatnya untuk
menerima kebudayaan Hindu (N.J. Krom, 1923. 6-7).
W.F. Stutterheim, seorang sarjana ilmu arkeologi Indonesia pernah
memecahkan suatu soal tentang akulturasi antara kebudayaan Indonesia dan
kebudayaan Hindu berdasarkan anggapan tentang peranan penting dari prinsipprinsip
integrasi unsur-unsur kebudayaan dalam proses akulturasi. Stutterheim
mencoba mengupas soal mengapakah dongeng-dongeng epik besar seperti
dongeng Rama dan lain-lain menjadi demikian populer di antara berbagai suku
bangsa di Indonesia. Prinsip integrasi tampak apaiula Stutterheim menjawab soal
tadi dengan anggapan bahwa dongeng-dongeng Rama di Indonesia itu tdak
dipengaruhi oleh syair-syair klasik Ramayana gubahan Valmiki, tetapi
dipengaruhi oleh dongeng-dongeng rakyat tentang Rama mengandung banyak
unsur dan motif serupa dengan dongeng-dongeng rakyat di Indonesia. Itulah
sebabnya bahwa dongeng-dongeng dari India tentang tokoh Rama mudah
diselaraskan ke dalam kebudayaan Indonesia dan diubah menjadi dongengdongeng
tentang pahlawan Rama Indonesia (W.F. Stutterheim, 1925, Texband,
81-86).
W.H. Rassers yang telah dikenal di atas sebagai seorang tokoh penting
dalam perkembangan anthropologi budaya Indonesia, pernah menambah
anggapan Stutterheim itu dengan menghubungkan anggapan itu dengan susunan
seni drama dan mithologi pada suku-suku bangsa Indonesia; karena persamaanpersamaan
sifat itulah dongeng rakyat India mudah diselaraskan dengan
dongeng-dongeng rakyat Indonesia. Anggapan serupa ini pernah juga diajukan
oleh Rassers berhubungan dengan soal-soal mengenai sinkretisme dari gama
Ciwa dan agama Budha dalam kebudayaan Indonesia. Menurut Rassers agama
Ciwa dan agama Budha itu mudah diintergrasikan ke dalam kebudayaan
Indonesia terutama ke dalam kesusasteraan dan mitologi Indonesia, karena orang
Jawa dasar dasar masyarakatnya, mempunyai system berfikir dualisme dan suatu
pertengkaran adat antara dua moiety. Suatu social structuur semacam itu
menyebabkan orang Jawa dengan mudah dapat mengklassifikasikan adanya
agama Ciwa dengan segala hal yang bersangkut paut dengan itu ke dalam satu
moiety dan agama Budha dengan segala hal yang bersangkut paut dengan itu ke
dalam lain moiety. Di dalam rangka moiety yang merupakan unsur penting di
dalam social structuur Indonesia itulah, kedua agama yang di tanah asalnya
saling bertentangan itu diintegrasikan ke dalam kebudayaan Indonesia dan
menyebabkan terjadinya sinkretisme agama Ciwabudha (W.H. Rassers, 1926,
222-225).
W.F. Stutterheim pernah juga menerangkan sebuah soal dalam arkeologi
berdasarkan atas anggapan arti penting dari prinsip integrasi unsur-unsur
kebudayaan dalam proses akulturasi. Yaitu, soal apakah arti dasar dari bangunan
candi di Indonesia. Menurut Stutterheim, suatu candi adalah suatu makam tempat
raja-aja atau orang-orang tinggi yang dikubur di dalam makam itu. Adat
penguburan itu tak lain dari suatu integrasi dari unsur-unsur kebudayaan Hindu
ke dalam suatu kompleks unsur-unsur Indonesia asli; adat penguburan serupa itu
pada dasarnya adalah adat Indonesia asli yang diberi sifat-sifat lahir dari
kebudayaan Hindu. Adat Idonesia asli itu adalah adat untuk mengubur abu dari
pemimpinnya dalam suatu bangunan yang diberi berpatung. Patung itu dianaggap
patung dari “sang pemimpin” almarhum tadi yang dipakai di dalam upacaraupacara
mengundang roh nenek moyang sebagai medium, tempat roh sang
pemimpin dapat dipanggil kembali, agar roh “sang pemimpin” dapat memberi
berkah kepada mereka yang masih tinggal di dunia ini (W.F. Stutterheim, 1899).
Penyelidikan F.C. Kamma tentang gerakan messianik di Irian Barat.
Penyelidikan-penyelidikan yang merupakan suatu analisa mendalam
tentang gerakan messianik yang timbul dalam masyarakat penduduk pulau Biak
dan Numfor di daerah Teluk Geelvink di Irian Barat, adalah suatu penyelidikan
berdasarkan fieldwork yang mencoba membuktikan bahwa gerakan-gerakan
Messianik itu mempunyai akar-akarnya yang dalam pandangan hidup asli
bangsa-bangsa itu sendiri (F.C. Kamma, 1954).
Kamma mempergunakan sumber terpenting bagi dalam penyeldikannya
di kompleks mitologi dari suku-suku bangsa di daerah Biak dan Numfor. Sejak
lama, mungkin sudah sejak zaman permulaan abad ke-19 dalam himpunan
dongeng-dongeng suci dari orang Biak dan Numfor ada kepercayaan kepada
suatu Negara Bahagia (koreri). Kecuali kemakmuran, kesejahteraan dan
kebahagiaan, penduduk Negara Bahagia tahu akan rahasia hidup dan maut,
artinya penduduk Negara Bahagia itu dapat menguasai, menunda atau
menghindari maut semaunya.
Bagi orang Biak dan Numfor, yang hidup dalam suatu kenyataan alam
yang sengsara, penuh kesulitan, penuh kemiskinan, penuh kejahatan, penuh
bahaya-bahaya gaib, maka Negara Bahagia itu seolah-olah hanya suatu anganangan
yang khayal. Di samping kabar tentang Manseren dan Manggundi (F.C.
Kamma, 1954. 19-22), nenek moyang orang Biak. Berbagai suku dan kelompok
bangsa Biak memang mempunyai tokoh nenek moyangnya masing-masing,
tetapi pada hakekatnya semua dewa-dewa nenek moyang tadi dianggap
penjelmaan dari Manseren Manggundi. Dewa ini dibayangkan sebagai seorang
tua cacat, penuh penyakit, tetapi di belakang tubuh cacat itu ada kepandaian dan
kebijaksanaan luar biasa, karena pengetahuannya tentang rahasia hidup dan maut,
dan arena ia pernah mendapat kesempatan meninjau ke Negara Bahagia, Negara
Koreri. Sungguhpun manusia tidak percaya akan kepandaiannya itu, karena
lahirnya tampak cacat dan hina. Karena itu Manseren dan Manggundi kemudian
merantau ke arah Barat (G.J. Held, 1951. 192-204).
Berdasarkan dongeng-dongeng tentang Koreri ini Kamma kemudian
mengembangkan suatu teori yang menyatakan bahwa dongeng-dongeng itu
adalah suatu penjelmaan dari suatu rasa tak tenteram dari kehidupan nyata, yang
diberi kompensasi dengan bayangan khayal tentang Negara Bahagia dalam alam
harapan. Kepercayaan yang termaktub di dalam mitologi ini menjelmakan diri ke
alam gerakan yang mencoba menyatakan bayangan-bayangan khayal itu dalam
upacara-upacara bersama. Upacara itu mengandung metode-metode untuk
mengaburkan kesadaran, menimbulkan massa psychose yang dapat menimbulkan
bayangan-bayangan khayal dan sebagainya. Upacara-upcara tadi sebaliknya
mempunyai fungsi memberi keseimbangan kepadaa rasa tak tenteram dalam
masyarakat Biak dan Numfor tadi. Pusat dari gerakan-gerakan itu adalah juga
kembalinya sang Manseren dan Manggundi sebagai raja adil yang membawa
kebahagiaan, membawa rahasia hidup dan maut kepada manusia, dengan singkat,
yang akan mengubah masyarakat nyata manusia menjadi suatu Negara Bahagia.
Demikian gerakan-gerakan tadi dengan dikuatkan oleh dongeng-dongeng
mitologi adalah penjelmaan dari berbagai perasaan yang hidup dalam
masyarakatnya (A.R. Radcliffe-Brown, 1952. 133-152), (A.R. Radcliffe-Brown,
1952-a, 153-177) dan (G,.C. Hommans, 1941. 164-172).
Jumlah gerakan-gerakan serupa itu, yang timbul dalam masa yang lama di
berbagai tempat di daerah Irian banyak sekali. Kamma telah membuat suatu
ikhtisar berpuluh-puluh gerakan raja adil yang timbul di dalam masa antara tahun
1855 sampai 1940.
Adapun datangnya orang Eropa di Irian pada akhir abad ke-19 memberi
pengaruh juga kepada sifat dari gerakan-gerakan tadi. Kemewahan benda-benada
kebudayaan orang Eropa di berbagai tempat di Irian dan juga di lain-lain tempat
di Melanesia pada umumnya akibat reaksi terhadap pengaruh kebudayaan Barat.
Kamma mencoba membuktikan dengan mengkhususkan perhatianannya kepada
penyelidikan dan gerakan-gerakan tadi di suatu daerah, bahwa gerakan-gerakan
itu di Irian pada umumnya mempunyai akar di dalam mitologi suku-suku bangsa
Irian sendiri, dan timbul terutama sebagai kompensasi terhadap kesengsaraan
hidup pada umumnya. Adapun kegoncangan masyarakat akibat perpaduan
dengan kebudayaan Eropa yang kemudian juga memperkuat timbulnya gerakan
messianik itu dan unsur-unsur upacara agama Nasrani yang mempegaruhi
upacara-upacara yang dilakukan oleh gerakan-gerakan itu hanya merupakan
unsur-unsur yang kedua.
Sumber : Metode-metode Penyeldikan Anthropologi di Indonesia.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar